Jembatan Perahu Haji Endang di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat, menjadi sorotan setelah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum memasang spanduk yang menyatakan jembatan tersebut tidak berizin. Spanduk yang dipasang pada Senin, 28 April 2025, ini kemudian dicopot oleh warga setempat. Kejadian ini memicu pertanyaan tentang asal-usul jembatan yang telah menjadi akses vital bagi masyarakat sekitar.
Peristiwa ini juga menguak sejarah panjang pembangunan jembatan unik ini, yang dibangun bukan oleh pemerintah, melainkan oleh inisiatif pribadi seorang warga. Kisah inspiratif sekaligus penuh tantangan di balik pembangunan Jembatan Haji Endang layak untuk kita telusuri lebih dalam.
Dibangun dari Inisiatif Pribadi: Kisah Haji Endang dan Jembatan Perahu
Jembatan Haji Endang dibangun atas prakarsa Muhammad Endang Junaedi, atau yang lebih dikenal sebagai Haji Endang. Ia tergerak membangun jembatan ini setelah mendengar keluhan warga Dusun Rumambe tentang akses jalan yang terisolir.
Pembangunan jembatan dimulai pada tahun 2010. Kondisi geografis yang membuat Dusun Rumambe terisolasi menjadi alasan utama dibalik pembangunan jembatan penyeberangan ini. Jalan buntu yang menghalangi akses warga menjadi permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan.
Awalnya, Haji Endang mengajukan permohonan izin pembangunan kepada Bupati Karawang saat itu, Dadang S Muchtar. Namun, atas pertimbangan risiko dan berbagai faktor lain, Bupati menyarankan Haji Endang untuk membangun jembatan tersebut secara mandiri.
Dari Jembatan Kayu Hingga Jembatan Ponton: Evolusi Jembatan Haji Endang
Konstruksi awal Jembatan Haji Endang menggunakan material kayu. Namun, jembatan kayu tersebut pernah mengalami kerusakan dan karam pada tahun 2014. Kejadian ini mendorong Haji Endang untuk mencari solusi yang lebih aman dan permanen.
Haji Endang kemudian merancang ulang jembatan dengan menggunakan material besi dan konsep perahu ponton. Proses pembangunan jembatan ini dilakukan secara otodidak, dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan pengguna.
Haji Endang mengerahkan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Dengan modal sekitar Rp 5 miliar, ia berhasil mewujudkan jembatan yang menghubungkan Dusun Rumambe dengan wilayah lainnya.
Kontroversi Izin dan Masa Depan Jembatan Haji Endang
Pemasangan spanduk oleh BBWS Citarum yang menyatakan bahwa Jembatan Haji Endang tidak berizin menimbulkan kontroversi. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait regulasi dan proses perizinan pembangunan infrastruktur di daerah.
Keberadaan Jembatan Haji Endang yang telah lama menjadi akses vital bagi masyarakat setempat perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Solusi yang adil dan bijaksana perlu dicari untuk memastikan aksesibilitas masyarakat tetap terjaga.
Meskipun pembangunannya penuh tantangan, Jembatan Haji Endang menjadi bukti nyata kepedulian dan inisiatif seorang warga dalam mengatasi permasalahan di lingkungannya. Kisah Haji Endang ini menjadi inspirasi dan pelajaran berharga tentang pentingnya gotong royong dan kreativitas dalam pembangunan infrastruktur. Ke depannya, diharapkan ada solusi yang mengakomodasi baik aspek legalitas maupun kepentingan masyarakat yang selama ini telah memanfaatkan jembatan tersebut. Semoga kasus ini menjadi pelajaran untuk meningkatkan transparansi dan mempermudah proses perizinan pembangunan infrastruktur di masa mendatang.
