Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali melanda Indonesia di awal tahun 2025. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 18.610 orang kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Sektor pengolahan, khususnya tekstil dan garmen, menjadi sektor yang paling terdampak.
Ironisnya, Badan Pusat Statistik (BPS) justru mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 mencapai angka terendah sejak krisis 1998, yaitu 4,76 persen. Namun, jumlah pengangguran secara absolut justru bertambah 83.000 orang dibandingkan tahun lalu. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang belum merata dan inklusif.
Tekanan Struktural di Balik Angka Pengangguran
Tingginya angka PHK bukan semata karena kebijaksanaan perusahaan atau siklus bisnis semata. Fenomena ini merupakan cerminan dari perubahan struktur ekonomi yang sedang berlangsung.
Tekanan biaya produksi yang meningkat, disrupsi teknologi, dan perubahan pola konsumsi konsumen mengakibatkan banyak sektor usaha lama tergeser. Sementara itu, sektor-sektor baru yang seharusnya menjadi penyangga belum cukup kuat untuk menampung pekerja yang terdampak.
Teori transformasi struktural Simon Kuznets (1955) menjelaskan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri, lalu ke sektor jasa seiring pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa kesiapan sistem dan kebijakan yang memadai, transisi ini justru menimbulkan dislokasi sosial. Industri terpuruk, sementara sektor baru masih dalam tahap perkembangan.
Sektor Informal: Pekerjaan Tanpa Jaminan
Gejala pengangguran terselubung juga semakin terlihat. Jutaan orang bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
Data BPS menunjukkan bahwa pada Februari 2025, jumlah pekerja informal mencapai 86,58 juta orang, atau 59,40 persen dari total angkatan kerja. Angka ini meningkat dari 59,17 persen tahun sebelumnya. Kebanyakan pekerja informal tidak memiliki perlindungan sosial dan kepastian pendapatan.
Sektor Penyelamat dan Peran UMKM
Meskipun demikian, tidak semua sektor mengalami penurunan. Sektor perdagangan menyerap hampir satu juta tenaga kerja baru, diikuti oleh sektor pertanian dan industri pengolahan.
Namun, sebagian besar penyerapan tenaga kerja terjadi di sektor informal. Artinya, meskipun ada pekerjaan, tidak semua pekerja mendapatkan perlindungan dan jaminan masa depan yang memadai.
Beberapa sektor berpotensi menjadi penopang perekonomian dan penyerap tenaga kerja, antara lain: ekonomi digital berbasis UMKM, pertanian modern, energi terbarukan, logistik, dan layanan kesehatan. Sektor-sektor ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga membuka peluang mobilitas sosial.
UMKM memegang peran krusial karena menjadi jembatan antara inovasi dan akses pasar. Namun, potensi UMKM tidak akan optimal tanpa dukungan pemerintah.
Peta Ulang Kebijakan Ketenagakerjaan
Pemerintah perlu lebih proaktif dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan ini. Tidak cukup hanya bereaksi terhadap situasi yang ada, tetapi juga merancang kebijakan yang bersifat preventif.
Kebijakan afirmatif seperti insentif fiskal, penyederhanaan regulasi, dan dukungan nyata kepada pelaku usaha kecil sangat dibutuhkan. UMKM membutuhkan bantuan yang konkret, bukan hanya janji-janji belaka.
Ekosistem ketenagakerjaan perlu dibenahi secara menyeluruh, mulai dari pendidikan dan pelatihan hingga sistem perlindungan sosial. Program *re-skilling* dan *up-skilling* harus disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Balai Latihan Kerja (BLK) perlu ditransformasi menjadi pusat inovasi vokasi yang relevan dengan perkembangan zaman. *Skills Development Fund (SDF)*, sebuah skema pendanaan pelatihan yang efektif, dapat dipertimbangkan untuk menjangkau kelompok rentan.
Perlindungan sosial juga perlu diperluas. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tidak hanya memberikan santunan, tetapi juga harus menjadi jembatan menuju peluang kerja baru. Kebijakan industri harus bergeser dari fokus ekspor murah menuju inovasi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan Jerman pasca krisis 2008 dalam menekan pengangguran melalui pelatihan vokasi, insentif perekrutan, dan kebijakan industri berbasis tenaga kerja terampil. Pendekatan ini perlu disesuaikan dengan konteks lokal dan dijalankan secara kolaboratif antar kementerian dan dunia usaha.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata, tetapi pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan, yang memperhatikan martabat dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
M. Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, mantan Menteri Ketenagakerjaan RI (2014-2019), Wakil Ketua Umum DPP PKB, dan Anggota Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia.





