Kekerasan baru-baru ini yang melanda komunitas minoritas Druze di Suriah dipicu oleh sebuah klip audio kontroversial. Rekaman tersebut diduga berisi penghinaan terhadap agama Islam dan Nabi Muhammad, memicu kemarahan dan tindakan balasan.
Meskipun tokoh agama Druze yang dituduh, Marwan Kiwan, membantah keras keterlibatannya melalui media sosial, menyatakan adanya niat jahat untuk memprovokasi perselisihan, kerusakan sudah terlanjur terjadi.
Kekerasan Pecah di Komunitas Druze
Penyebaran klip audio tersebut, yang dianggap sebagai penistaan oleh banyak Muslim Suriah, mengakibatkan seruan untuk membela kehormatan Nabi Muhammad. Hal ini memicu sentimen negatif terhadap komunitas Druze secara luas, menurut peneliti Inggris-Irak, Aymenn Jawad al-Tamimi.
Akibatnya, kelompok-kelompok bersenjata menyerang Jaramana, sebuah kota mayoritas Druze dekat Damaskus. Beberapa penyerang diduga terkait dengan pasukan keamanan pemerintah Suriah yang baru, sementara yang lain kemungkinan besar adalah warga sipil yang marah.
Kekerasan meluas ke beberapa wilayah mayoritas Druze lainnya, termasuk Sahnaya dan provinsi Sweida. Bentrokan antara kelompok-kelompok bersenjata di dalam komunitas Druze sendiri juga terjadi, menunjukkan ketidakstabilan keamanan di wilayah tersebut.
Dampak Kekerasan dan Kesaksian Warga
Mohammed Shobak, warga Sahnaya, menceritakan situasi mencekam yang dialaminya. Ia menggambarkan pengepungan kota dan rasa takut yang menyelimuti warga.
Shobak menambahkan bahwa milisi bersenjata di kota tersebut memiliki persenjataan berat, yang diduga diperoleh dari barak militer pasca tumbangnya rezim Assad pada Desember 2024. Milisi ini mengaku bertujuan mencegah pasukan pemerintah memasuki kota.
Pertempuran tersebut mengakibatkan lebih dari 80 orang tewas, menurut laporan pihak berwenang. Situasi baru mereda setelah para pemimpin komunitas Druze mengizinkan pasukan pemerintah Suriah masuk dan warga menyerahkan senjata.
Komunitas Druze di Suriah dan Negosiasi Politik
Kaum Druze merupakan kelompok etnis Arab dan salah satu minoritas agama di Suriah, berjumlah sekitar 700.000 jiwa atau 3% dari populasi. Mereka menganut sistem kepercayaan monoteistik yang unik, berbeda dari Islam dan memadukan unsur-unsur agama lain.
Sejak jatuhnya rezim Assad, pemerintah Suriah yang baru, yang dipimpin oleh anggota kelompok pemberontak Islam, Hayat Tahrir al-Sham, telah bernegosiasi dengan komunitas Druze. Salah satu poin penting adalah integrasi milisi Druze ke dalam tentara nasional.
Komunitas Druze sendiri terpecah antara yang menginginkan kemerdekaan dan yang terbuka bekerja sama dengan Damaskus. Ketidaksepakatan ini memperumit proses negosiasi dan transisi politik di Suriah.
Peran Israel dan Reaksi Internasional
Israel melakukan serangan udara di Suriah, termasuk di dekat istana presiden di Damaskus, sebelum dan selama kekerasan di wilayah Druze. Israel menyatakan serangan tersebut sebagai pesan untuk mencegah ancaman terhadap komunitas Druze.
Namun, intervensi Israel ini dinilai oleh banyak pihak justru memperburuk situasi. Tindakan Israel dianggap memperkuat persepsi negatif terhadap komunitas Druze, menciptakan citra ketidakloyalan terhadap negara.
Komunitas Druze dan para pemimpinnya secara umum menolak “perlindungan” dari Israel, mengingat reputasi negatif Israel di mata mayoritas warga Suriah. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya situasi politik dan sosial di Suriah.
Para ahli menekankan bahwa campur tangan asing, baik dari Israel maupun pihak lain, berpotensi semakin mengacaukan proses transisi politik Suriah yang sudah rapuh. Resolusi konflik membutuhkan pendekatan yang mempertimbangkan keragaman etnis dan agama di Suriah, serta menghormati kedaulatan nasional.
Peristiwa ini menyoroti betapa rapuhnya perdamaian pasca konflik di Suriah, dan betapa mudahnya isu agama dimanfaatkan untuk memicu kekerasan dan ketidakstabilan. Peran komunitas internasional dalam mendukung proses perdamaian dan rekonsiliasi sangatlah penting untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.





