Krisis Pendidikan Nasional: Integritas Menurun, Apa Penyebabnya?

Krisis Pendidikan Nasional: Integritas Menurun, Apa Penyebabnya?
Krisis Pendidikan Nasional: Integritas Menurun, Apa Penyebabnya?

Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Tema peringatan ke-80 kemerdekaan ini, “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua,” menekankan kerja sama dan inklusivitas untuk mencapai pendidikan berkualitas.

Namun, peringatan ini datang di tengah kekhawatiran akan integritas pendidikan nasional. Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 menunjukkan penurunan skor menjadi 69,50, dari 73,7 pada tahun sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Integritas Pendidikan Nasional: Tantangan dan Realitas

SPI 2024 melibatkan 36.888 satuan pendidikan dan 449.865 responden. Survei ini mengungkap masalah serius, termasuk tingginya angka siswa dan mahasiswa yang menyontek, serta ketidakdisiplinan akademik.

Temuan lain yang mengkhawatirkan adalah masih adanya praktik pemberian suap kepada guru agar nilai siswa membaik atau siswa lulus. Hal ini menunjukkan penurunan integritas pendidikan akibat hilangnya hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menjelaskan bahwa level koreksi menunjukkan adanya upaya perbaikan, namun implementasi dan pengawasan belum merata.

Mencari Kembali Hakikat Pendidikan: Refleksi Filosofis

Kondisi ini mendorong kita untuk merefleksikan kembali hakikat pendidikan. Apa tujuan pendidikan yang sebenarnya? Apakah institusi pendidikan kita berfungsi sebagai lembaga pendidikan sejati?

Tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Ki Hadjar Dewantoro memberikan perspektif berharga. Plato menekankan pengembangan holistik individu, Aristoteles fokus pada eudaimonia, sementara Ki Hadjar Dewantoro menekankan pendidikan yang memerdekakan dan berpusat pada siswa.

Pemikiran mereka masih relevan hingga kini. Hakikat pendidikan yang mereka usung telah terakomodasi dalam regulasi pendidikan Indonesia.

Regulasi dan Realitas: Kesenjangan yang Perlu Diperbaiki

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara holistik, termasuk karakter dan akhlak mulia.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan fokus yang lebih besar pada transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, mengurangi pembinaan sikap hidup dan karakter.

Pendidikan yang ideal seharusnya mencakup pemeliharaan, pengasuhan, pembiasaan, pengajaran, dan pembinaan sikap hidup. Sayangnya, praktik pendidikan seringkali didominasi oleh transfer pengetahuan dan keterampilan saja.

Pendidikan Holistik: Meliputi Lebih dari Sekadar Transfer Pengetahuan

Pengalaman pendidikan di SD yang berfokus pada menghafal, dan di SMK yang menekankan keterampilan praktis, menunjukkan perbedaan pendekatan. Transfer nilai dan pemahaman hidup, seperti nilai-nilai Pancasila, juga seringkali hanya berhenti di tataran kognitif.

Pembinaan sikap hidup merupakan puncak dari pendidikan. Tanpa pembinaan ini, keberhasilan pendidikan patut dipertanyakan. Sikap hidup yang baik, menurut Alex Lanur, adalah kecenderungan batin untuk memilih kebaikan. Hal ini sejalan dengan pandangan Zygmunt Bauman dan Pierre Bourdieu.

Dominasi pendekatan pengajaran yang hanya berfokus pada transfer pengetahuan tanpa pembinaan sikap hidup yang mendalam menjadi akar masalah perilaku tidak terpuji.

Mendidik vs Mengajar: Analogi Pohon yang Mencerahkan

Analogi menanam pohon menggambarkan perbedaan mendidik dan mengajar. Mengajar ibarat memberikan air dan pupuk, sedangkan mendidik memastikan pohon tumbuh kuat dan berbuah. Mengajar berfokus pada pertumbuhan fisik, sementara mendidik pada karakter dan kualitas jangka panjang.

Tanpa sikap hidup yang baik, pengetahuan dan keterampilan bisa disalahgunakan. Aklak mulia dan sikap hidup yang tepat krusial untuk mewujudkan pendidikan berkualitas.

Pendidikan yang tidak mencakup pembinaan sikap hidup yang baik adalah pendidikan yang belum selesai, bahkan keliru. Pendidikan berkualitas memerlukan usaha mendidik yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar mengajar.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Pormadi Simbolon, alumnus Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *