Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), secara tegas mendukung Presiden Prabowo Subianto dalam upaya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Bamsoet menilai RUU ini krusial untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia.
RUU Perampasan Aset diharapkan mampu mengembalikan kerugian negara dan memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Keberadaan UU ini dianggap sebagai solusi atas kelemahan regulasi yang ada saat ini.
Dukungan Bamsoet terhadap Pengesahan RUU Perampasan Aset
Bamsoet mengungkapkan kekecewaannya karena RUU Perampasan Aset tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025. Padahal, RUU ini telah masuk Prolegnas pada tahun 2023 dan 2024.
Menurutnya, RUU ini bukan hanya langkah hukum biasa, melainkan terobosan untuk mengubah paradigma pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi. Dengan mekanisme yang dimilikinya, negara dapat lebih efektif memulihkan kerugian negara.
RUU ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih nyata kepada para pelaku kejahatan, meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya negara. Hal ini akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Kelemahan Regulasi yang Ada dan Urgensi RUU Perampasan Aset
Indonesia saat ini belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perampasan aset secara komprehensif. Ketentuan yang ada tersebar di beberapa UU, seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU Korupsi, dan UU Narkotika, namun masih memiliki kelemahan.
Proses perampasan aset seringkali terhambat karena harus menunggu putusan pengadilan. Selain itu, sulitnya membuktikan hubungan langsung antara aset dengan tindak pidana serta kecenderungan aset hasil kejahatan untuk dialihkan atau disembunyikan juga menjadi kendala.
Tingkat pengembalian aset hasil kejahatan di Indonesia masih rendah. Meskipun KPK dan Kejaksaan Agung berupaya maksimal, instrumen hukum yang ada masih belum memadai untuk mengejar aset yang disembunyikan atau dialihkan secara kompleks.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2023 menunjukkan sekitar Rp 300 triliun aset hasil korupsi dan kejahatan keuangan lainnya belum dikembalikan ke negara. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini.
Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) dan Dampak Global
RUU Perampasan Aset akan menggunakan mekanisme NCB atau perampasan aset tanpa menunggu vonis pengadilan. Ini merupakan langkah inovatif untuk mengatasi kendala yang menghambat penegakan hukum.
Dengan NCB, negara dapat melakukan perampasan aset meskipun pelaku belum dihukum atau proses hukum masih berjalan. Hal ini akan mempercepat proses pemulihan aset negara dan memberikan efek jera yang lebih kuat.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 yang berada di angka 35 dari skala 0-100 menunjukkan perlunya langkah-langkah hukum yang lebih kuat. RUU Perampasan Aset diharapkan mampu meningkatkan peringkat Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi.
Penerapan RUU ini juga akan meningkatkan reputasi Indonesia di mata internasional. Banyak negara lain yang telah menerapkan sistem serupa, seperti Australia, Amerika Serikat, dan lainnya. Indonesia perlu mengikuti jejak negara-negara tersebut agar mampu berkompetisi secara global.
Implementasi RUU ini memerlukan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pelibatan masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah dalam pengawasan sangat penting untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Secara keseluruhan, dukungan Bamsoet terhadap RUU Perampasan Aset menunjukkan urgensi penyelesaian regulasi ini. Dengan adanya UU ini, diharapkan Indonesia dapat lebih efektif dalam memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berlaku.





